Selasa, 21 September 2010

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI ‘ULUM AL-QURAN

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI

DAN AKSIOLOGI ‘ULUM AL-QURAN

Oleh :

Hasanudin

Abstrak

Untuk mempelajari Al Quran secara menyeluruh, kaum muslimin harus mengetahui ruang lingkup pembahasan ‘‘Ulum Al-Quran serta metode yang digunakan oleh para Ulama dalam memperoleh ilmu-ilmu tersebut. Sebagai sebuah ilmu, Al-Quran tentunya dapat ditelaah berdasarkan ilmu pengetahuan yang bertumpu pada tiga cabang filsafat yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Landasan ontologi berkaitan dengan pemahaman seseorang tentang kenyataan, landasan epistemologi memberikan pemahaman tentang sumber dan sarana pengetahuan manusia dan aksiologi yang memberikan suatu pemahaman tentang nilai hubungan kualitas objek dengan subjek.. Hasil kajian pada masalah ini, menunjukkan bahwa ‘Ulum Al-Quran mampu menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan seputar landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Sehingga hal ini tentunya akan semakin mempertebal keimanan seorang muslim terhadap Al-Quran sebagai kitab sucinya.

Kata Kunci: Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, ‘Ulum Al-Quran

ِِِ

A. Pendahuluan

Al-Quran merupakan sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan dalam studi islam. Salah satu fungsi Al-Quran adalah sebagai Huda (petunjuk), yakni sebagai pemberi jalan bagi orang-orang yang mengharap ridlo Allah. Selain itu Al-Quran juga berfungsi sebagai furqan (pembeda) yang menjadi tolok ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Sebagaimana firman Allah SWT :

نَزَّلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنزَلَ ٱلتَّوْرَىٰةَ وَٱلْإِنجِيلَ مِن قَبْلُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَأَنزَلَ ٱلْفُرْقَانَ ۗ إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ ذُو ٱنتِقَامٍ

Artinya : Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (Al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa). (Q.S. Ali-Imran : 3-4).

Oleh karena Al-Quran berbicara tentang berbagai aspek kehidupan serta mengemukakan beraneka ragam masalah, yang merupakan pokok-pokok bahasan berbagai disiplin ilmu, maka kandungannya tidak dapat dipahami secara baik dan benar tanpa mengetahui hasil-hasil penelitian dan studi pada bidang-bidang yang dipaparkan oleh Al-Quran. Dengan demikian untuk memahaminya diperlukan sebuah ilmu tentang Al-Quran (‘Ulum Al-Quran).

Berbicara tentang ilmu, konsep filsafat telah mengaturnya dan mensyaratkan tiga landasan pokok keilmuan yaitu ontologis, epistemologis, aksiologis. Sebagai sebuah ilmu, ‘Ulum Al-Quran tentunya memiliki struktur keilmuan seperti di atas, yaitu apa yang ingin diketahui dari ‘Ulum Al-Quran? Hal ini menjadi basis ontologis ‘Ulum Al-Quran, Bagaimana cara mendapatkan ‘Ulum Al-Quran? Menjadi basis epistemologis ‘Ulum Al-Quran, Apa manfaat dari ‘Ulum Al-Quran? menjadi basis aksiologis ‘Ulum Al-Quran.

B. Kajian Pustaka

1. ‘Ulum Al-Quran

Kata ‘Ulum Al-Quran berasal dari kata bahasa Arab yang terdiri dari kata ulum dan Al-Quran. Secara etimologi ulum merupakan bentuk jamak dari kata ilmu. Hal ini menunjukkan terdapat banyaknya ilmu.

Sedangkan menurut bahasa, kata Al-Quran merupakan mashdar yang maknanya sama dengan kata Qiro’ah (bacaan). Dalam definisi Al-Quran banyak perbedaan pendapat diantara para ulama’.

Menurut Al-Zarqani, Al-Quran adalah kalam yang mengandung kemukjizatan yang diturunkan kepada Nabi SAW yang tertulis didalam mushaf-mushaf yang diriwayatkan secara mutawatir dan yang dinilai ibadah bila membacanya[1].

Sementara Al-Quran pun diartikan sebagai kalam Allah dan juga disebut-sebut sebagai mujizat dikarenakan keistimewaan-keistimewaan yang dikandung di dalamnya. Metodologi penyampaian firman Allah kepada umat islam adalah secara langsung dari Nabi Muhammad SAW di hadapan orang banyak baik dari surat Al- Fatihah sehingga surat An-Nas. [2]

Dengan demikian, secara idhafi ‘Ulum Al-Quran memiliki pengertian suatu ilmu yang mencakup berbagai ilmu yang berkaitan dengan kajian-kajian Al-Quran. Berbagai ilmu tersebut adalah ilmu tentang asbab an-nuzul, pengumpulan Al-Quran dan penyusunannya, masalah Makkiyah dan Madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabihat, dan lain-lain. Kadang-kadang ‘Ulum Al-Quran ini juga disebut sebagai ushul at-tafsir (dasar-dasar/prinsip-prinsip penafsiran), karena memuat berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan Al-Quran.[3]

2. Konsep Ontologis, Epistemologis, Aksiologis

Untuk membangun sebuah ilmu, ada tiga prasyarat utama yang harus terpenuhi, yaitu (1) apa hakikat ilmu itu sesungguhnya atau apa yang ingin diketahui, (2) bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut, dan (3) apa fungsi pengetahuan tersebut bagi manusia. Pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan hal pertama berkenaan dengan landasan ontologis, pertanyaan kedua berkenaan dengan landasan epistemologis, dan pertanyaan ketiga berkaitan dengan landasan aksiologis.

Landasan Ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam segala bentuknya. Landasan dalam tataran ontologi adalah apa objek yang ditela’ah, bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut, bagaimana pula hubungan objek tersebut dengan daya pikir dan penangkapan manusia.[4]

Ontologis juga diartikan sebagai yaitu cabang filsafat yang mempelajari yang nyata atau wujud.[5]

Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat-sifat, metoda dan keahlian pengetahuan.[6] Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan dan bagaiamana ilmu pengetahuan itu.[7]

Objek telaah aksiologi adalah penerapan pengetahuan, jadi dibahas mulai dari klasifikasinya, tujuan pengetahuan serta pengembangannya. Landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu digunakan ? Bagaimana hubungan penggunaan pengetahuan ilmiah dengan moral etika ? Bagaimana penentuan objek yang diteliti secara moral ? Bagaimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral ?

Pengertian Aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika[8]. Sedangkan menurut Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.[9]

C. Ontologi ‘Ulum Al-Quran

Dalam sudut pandang ontologi, yaitu apa yang dipelajari oleh ‘Ulum Al-Quran? maka yang menjadi objek kajiannya adalah Al-Quran dari seluruh segi keilmuan kitab tersebut. Ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasam utsmaniy, ilmu i’jaz Al-Quran, ilmu gharib Al-Quran, ilmu asbab nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu-ilmu agama, bahasa dan lain-lain.

Berkenan dengan persoalan ini, M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa ruang lingkup pembahasan ‘Ulum Al-Quran terdiri atas enam hal pokok berikut ini :[10]

1. Persoalan turunnya Al-Quran (Nuzul Al-Quran)
2. Persoalan Sanad (rangkaian para periwyat)
3. Persoalan Qira’at (cara pembacaan Al-Quran)
4. Persoalan kata-kata Al-Quran
5. Persoalan makna-makna Al-Quran yang berkaitan dengan hukum
6.Persoalan makna Al-Quran yang berpautan dengan kata-kata Al-Quran

D. Epistemologi ‘Ulum Al-Quran

Epistemologis dipahami sebagai sarana untuk meneliti prosedur-prosedur metodologis yang dibangun oleh beragam asumsi dengan cara mengkritisi serta mempertanyakan atau menguji kembali pengetahuan itu sendiri.

Sejarah perkembangan ‘Ulum Al-Quran dapat pula ditinjau dari sudut metode ‘Ulum Al-Quran. Walaupun disadari bahwa setiap fase mempunyai metode yang berbeda dalam penggalian ‘Ulum Al-Quran.[11]

1. Fase Sebelum Kodifikasi Qabl ‘Ashr At-Tadwin

Pada Fase Sebelum Kodifikasi, ‘Ulum Al-Quran sudah terasa semenjak Nabi Muhammad SAW masih ada.

Setiap Rasulullah selesai menerima wahyu ayat Al-Quran, beliau menyampaikan wahyu itu kepada para sahabatnya. Rasulullah SAW menjelaskan tafsiran-tafsiran ayat Al-Quran kepada mereka dengan sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau serta dengan akhlak-akhlak dan sifat beliau.

2. Fase Kodifikasi

Pada fase ini, ‘‘Ulum Al-Quran dan kitab-kitab keilmuan mulai dikodifikasi. Fenomena ini berlangsung ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abul Aswad Ad-Da’uli untuk menulis ilmu nahwu. Setelah itu pengkodifikasian ilmu semakin marak, terlebih-lebih pada masa pemerintahan bani Umayyah dan Bani ‘Abasiyyah.

Dengan demikian pada fase inilah terjadi perkembangan ‘Ulum Al-Quran yang menghasilkan ‘Ulum Al-Quran yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. ‘Ulum Al-Quran meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Quran, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Quran. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu.[12] Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ‘Ulum Al-Quran terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-Quran dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Quran mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung.[13] Firman Allah :

قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَـتِ رَبِّى لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَـتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً

Artinya :Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).(Q.S. Al-Kahfi 109)

Metodologi ‘Ulum Al-Quran pada fase kodifikasi ini, secara umum terbagi atas dua bagian yaitu :[14]

2.1 Metode Transmisi (periwayatan).

Pada metode ini cara yang digunakan untuk mendapatkan ilmu ini adalah berdasarkan periwayatan dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung tentang turunnya ayat Al-Quran yang dimaksud. Cabang- cabang ‘‘Ulum Al-Quran yang menggunakan metode ini adalah : Asbab An-Nuzul, Makkiyyah dan Madaniyyah, Ilmu Qiraat, ilmu Nasikh-Mansukh.

2.2 Metode Analogi (Ijtihad).

Pada metode ini cara yang digunakan untuk mendapatkan ilmu ini adalah berdasarkan ijtihad jika tidak ditemukannya riwayat baik dari Nabi maupun para sahabat. Oleh karena itu tidak ada keharusan mencari riwayat pada setiap ayat. Hal ini disebabkan, Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian yang ada. Sehingga seorang mufassir terkadang tidak menemukan sebab, pengertian dan keterkaitan antara ayat yang satu dengan yang lainnya.. Cabang- cabang ‘‘Ulum Al-Quran yang menggunakan metode ini adalah : Asbab An-Nuzul, Munasabah, Makkiyyah dan Madaniyyah, ilmu Nasikh-Mansukh, ilmu I’jazul Quran

E. Aksiologis Ulum Al-Quran

Aksiologi dalam filsafat ilmu berbicara tentang kegunaan dari sebuah ilmu. Untuk apa ilmu itu dipelajari ? Apa nilai manfaat buat kehidupan manusia ?
Maka aksiologis ‘Ulum Al-Quran tidak terlepas dari tujuan Al-Quran itu sendiri. Al-Quran seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab yang memberi petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil.

Dalam berbagai versinya Al-Quran sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan dalam rangka mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan baik di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, maupun sosial budaya kepada sebuah cahaya, petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.

Dengan demikian, dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan akan mendatangkan kebahagiaan bagi manusia.

Tujuan pokok Al-Quran seperti dipaparkan Quraish Shihab adalah :[15]

a. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.

b. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.

c. Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.

Merujuk pada pengertian di atas, maka disiplin ‘Ulum Al-Quran memiliki urgensi yaitu untuk mengetahui isi kandungan Al-Quran dengan memahami makna-makna yang ada di dalamnya. Melaksanakan ajaran Islam tidaklah akan berhasil kecuali dengan memahami dan menghayati Al-Quran terlebih dahulu, serta berpedoman atas nasihat dan petunjuk yang tercakup didalamnya. Untuk itulah diperlukan ‘Ulum Al-Quran, yang merupakan “kunci” pemahaman kita terhadap Al-Quran.

Seorang muslim yang baik tentunya tidak hanya membaca Al-Quran secara harfiah saja namun akan mempelajari aturan-aturan tentang hukum-hukum Al-Quran, sehingga dapat memahami kehendak Allah SWT, dan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya. Maka dengan cara itu niscaya pembaca akan mengetahui manfaat dari bacaannya dan dapat mengamalkan apa yang telah dibaca.


F. Kesimpulan

1. Dalam sudut pandang ontologis ‘Ulum Al-Quran, maka yang menjadi objek kajiannya adalah cabang Al-Quran dan ruang lingkup Al-Quran itu sendiri.

2. Dalam sudut pandang epistemologis, Sejarah perkembangan ‘Ulum Al-Quran dapat pula ditinjau dari sudut metode ‘Ulum Al-Quran. Setiap fase mempunyai metode yang berbeda dalam penggalian ‘Ulum Al-Quran. Fase-fase tersebut adalah : Fase Sebelum Kodifikasi Qabl ‘Ashr At-Tadwin dan Fase Kodifikasi.

Metodologi ‘Ulum Al-Quran pada fase kodifikasi ini, secara umum terbagi atas dua bagian yaitu : Metode Transmisi (periwayatan) dan Metode Analogi (Ijtihad).

3. Dalam tataran aksiologis Ilmu tafsir tidak terlepas dari tujuan Al-Quran itu sendiri. Al-Quran seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab yang menjadi petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Melaksanakan ajaran Islam tidaklah akan berhasil kecuali dengan memahami dan menghayati Al-Quran terlebih dahulu, serta berpedoman atas nasihat dan petunjuk yang tercakup didalamnya. Untuk itulah diperlukan tafsir, yang merupakan “kunci” pemahaman kita terhadap Al-Quran.



[1] Berdasarkan pengertian Al-Quran menurut Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani (2001), Manahil Al-‘Urfan Fi’Ulum Al-Quran, Gaya Media Pratama, Jakarta.

[2] Lihat pengertian Al-Quran yang dikemukakan oleh Quraish Shihab dkk (2001), Sejarah dan Ulumul Quran, Pustaka Firdaus, Jakarta.

[3] Lihat pengertian Ulum Al-Quran menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan (2006), Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.

[4] Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 9

[5] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, Remaja Rosda Karya, Bandung 2004, hlm. 2

[6] Lihat Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 138

[7] Ahmad Tafsir, op. cit. hlm. 21

[8] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. 2003

[9] S. Suriasumantri, Jujun.. Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996 hlm. 234

[10] T.M. Hasbie Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, hlm 100-102

[11] Lihat pembagian Fase Ulumul Quran yang dikemukakan Rosihon Anwar. Ulum Al-Quran, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 17-23

[12] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut,t.t., Jilid I.

[13] Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani , Manahil Al-‘Urfan Fi’Ulum Al-Quran, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001, hlm. 23

[14] Lihat metode untuk mengetahui cabang-cabang ‘Ulum Al-Quran menurut Rosihon Anwar. Ulum Al-Quran, Pustaka Setia, Bandung, 2008.

[15] Lihat tujuan pokok Al-Quran seperti dipaparkan Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Mizan Media Utama, Bandung, 1994.